7 Realita Desain Grafis

by 20.59 0 komentar

Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah artikel dengan judul “7 Mitos dan Fakta Desain Grafis” oleh Surianto Rustan di web site DGI. Setelah saya baca artikel ini cukup menggelitik saya untuk menulis dari perspektif yang lain… hmmm… bagaimana jika judulnya “7 Realita Desain Grafis”… yes this is fact not fiction… ya ini kejadian di dunia nyata… bukan mimpi… kali ini otak saya saya bawa benar-benar ke realita di kehidupan sehari-hari hingga ke khayalan tingkat tinggi… dimana basic needs today is money… tanpa itu kamu tidak bisa makan… at least kamu tidak bisa ngelamar kerjaan dan ikut interview di kantor yang bersangkutan… buat beli bensin ato bayar angkot… so, buang jauh-jauh yang namanya idealisme dalam postingan kali ini… here we go guys…

Surianto said:
Myth #1: Desain grafis itu komputer
Komputer memang digunakan dalam proses mendesain, namun tidak seluruhnya, dan bukan yang paling utama. Merancang solusi untuk suatu masalah adalah yang paling utama dalam desain grafis, ini dilakukan dengan riset / wawancara, membuat catatan*. Sama sekali belum menggambar, apalagi menggunakan komputer.
Reality:
Get a life… beberapa kali saya ikutan interview di beberapa tempat (ini masih ada kaitannya sama ngedesign, bukan interview untuk masuk majalah ato mau masuk kuliah atau waktu ujian bahasa Inggris). Pertanyaan mereka akan diakhiri ato setidaknya akan ngomong: ”Punya laptop?”, “Punya Mac?”. Ini belum masuk kerja sudah ditanyain komputer. Ada yang salah? Siapa yang salah? Kebutuhan untuk harus tetep hidup dan menghidupi orang lain setiap bulannya? Dan saya tidak bisa bilang itu gambar sih jika emang dilaksanakan… paling namanya coret-coret asik. Dari yang isinya konsep asik sampe isinya curhatan hati asik jika duit bulan ini sudah habis. Dan ketika semua masuk era digital, rata2 coret-coretnya pake wacom dong di photoshop dari pada harus bawa A3 kemana-mana bener-bener tidak efesien tempat… dan seberapa banyak sih kerjaan yang emang bener-bener merancang solusi dari sebuah masalah jika akhirnya harus tunduk sama maunya client? Trus siapa dong problem solvernya?

Surianto said:
Myth #2: Bisa Photoshop / Illustrator / CorelDraw = bisa desain grafis
Software itu bukan desain grafis / bukan alat utama dalam desain grafis. Ia hanya alat bantu dalam membuat karya desain grafis. Bisa mengoperasikan software-nya belum tentu bisa mendesain dengan baik.
Untuk menghasilkan karya desain yang berhasil, ada tahapan kerja dan prinsip-prinsip yang harus diterapkan. Software tidak mengerti hal itu, ia hanya alat. Yang harus mempelajari adalah si pemakainya.
Desainer grafis tidak menggantungkan dirinya pada software, tapi pada otaknya yang kreatif. Riset, analisa, mencari strategi visual dan komunikasi adalah proses awal mendesain. Hal itu tidak bisa dilakukan oleh Photoshop, Illustrator, CorelDraw, atau software lainnya, hanya otak kita yang dapat melakukannya.
Reality:
Realitanya apa iya semua client mau bayar lebih mahal buat masalah riset, analisa hingga proses itu kelar jika tiap disodorin harga sekian pasti bilang “kemahalan” ato “out of budget” dan hal macem ini yang akhirnya bikin yang profesional pun even sudah pake Mac mau tidak mau softwarenya tetep harus pake yang crack alias bajakan. Bisa menggunakan software adalah benar belum tentu bisa mendesain dengan baik, tapi bisa mendesain dengan baik apakah bisa dapat dengan harga murah (jika berbicara industri maka kaitannya dengan ekonomi. Sehingga saya harus ingat salah satu hukum ekonomi yang mengatakan: mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya), nah loh bagaimana jika sudah seperti ini? Ya jangan heran jika banyak staf ahli setting di tempat printing dan semacemnya, dan atau orang-orang yang quick course Adobe, Freehand, Corel itu bisa mengidentifikasikan dirinya sebagai graphic designer. Ya toh jika diliat dari mata client kerjaannya sama… sama-sama bisa bikin kartu nama, bisa bikin promotional item, dan yang lainnya. Permasalahannya kan di sini (baca: Indonesia) tidak ada batasan baku bahkan aturannya mana profesi yang profesional dengan amatiran ato karbitan yang mana secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi permasalahan yang lain kan. Jadi? Saya tidak bisa nyalahin mereka-mereka yang ingin mencari uang untuk tetap bisa hidup… toh mereka juga tetap kreatif… dilihat dari keahliannya membuat solusi untuk orang-orang yang punya budget terbatas untuk masalah desain grafis.

Surianto said:
Myth #3: Desain grafis itu membuat iklan
Membuat iklan memang salah satu pekerjaan yang cukup banyak ditekuni oleh desainer grafis, tapi bukan itu satu-satunya. Branding, editorial & penerbitan, desain kemasan / packaging, web & development, adalah di antara sekian banyak yang juga ditekuni oleh desainer grafis.
Reality:
Yesss… it’s absolutely fact. Tapi yang lagi hype sekarang itu BRANDING. Jika diliat-liat dan diperhatikan semakin banyak studio baru dengan embel-embel branding… pencitraan… saya rasa gara-gara Indonesia lagi dipimpin sama presiden yang gila pencitraan deh… keranjingan semenjak kampanye pemilu kemaren. Btw, bukannya branding itu kerjaannya orang marketing ama ekonomi ya?

Surianto Said:
Myth #4: Desain grafis itu cuma make-up, menghias sesuatu supaya lebih indah
Yang sekadar menghias itu bukan desain grafis, tetapi dekorasi, tujuannya memang cuma satu: untuk memperindah. Tidak ada fungsi lainnya.
Kalau desain grafis, selain memperindah ia juga punya fungsi: menyampaikan pesan dan identitas. Tujuannya untuk menjual, memberi informasi, menanamkan citra ke benak konsumen, dan lain-lain.
Reality:
Yup. ini tidak tau persepsi datang dari mana… tapi yang pasti kami memiliki persamaan tujuan: sama-sama mencari duit, sama-sama mau tidak mau hidup susah. Ya memang di dalam desain grafis tidak setiap karya desain grafis hasilnya akan indah jika di liat dari idealnya. Dan idealnya, memang perlu dapat menanamkan citra dan lain lain ke benak konsumen, tapi jika di benak client sudah senang, pasti akan indah memang pada akhirnya bukan?

Surianto said:
Myth #5: Desain grafis itu masalah selera. Kalau saya bilang suka, orang lain mungkin tidak suka.
Kalau berupa dekorasi saja mungkin bisa dinilai tergantung selera pribadi: “suka”, “tidak suka”. Tetapi kalau desain grafis dinilai secara keseluruhan, maka penilaiannya jadi: “apakah ia dapat menjual?”, “apakah berhasil menginformasikan?”, “apakah terbangun citra yang diharapkan?”, dan penilaian-penilaian lain yang sifatnya objektif, bukan subjektif / selera pribadi.
Reality:
Sikap diktator dan otoriter client sangat berpengaruh besar untuk hal satu ini… jadi yang pasti selera kliennya dong. Karena mereka  yang memiliki duit, designer-nya sebagai penyedia jasa ya manggut-manggut saja biar dibayar, dan akhirnya frase “OUT OF THE BOX”  hanya sebagai gimmick saja. Lalu bagaimana berpikir out of the box jika dari yang memberi kerjaan sudah memberi batasan sana sini.

Surianto said:
Myth #6: Untuk menjadi desainer grafis, yang paling penting punya bakat seni
Bakat seni memang diperlukan dalam mendesain, tapi bukan segala-galanya. Kerajinan dalam berlatih, keberanian mengeksplorasi hal-hal baru, kreativitas, kemampuan logika, analisa, komunikasi, kepekaan, dan masih banyak lagi kemampuan yang lebih dibutuhkan untuk menjadi seorang desainer grafis.
Bila hanya mengandalkan bakat dan tidak mengembangkan kemampuan lainnya, tidak akan membuat seseorang menjadi desainer grafis yang baik.
Reality:
Setelah tau keotoriteran dan kediktatoran client bermain besar dalam hal kreativitas, maka bakat seni adalah nomer 2. Bakat menganalisa, peka terhadap client adalah yang paling penting… harus tau client sukanya bagaimana dan seperti apa (rata-rata pikiran seperti ini keluar setelah proses panjang tawar menawar hingga akhirnya capek sendiri atau bahasa kerennya frustasi). Komunikasi juga sangat penting, untuk bisa meloloskan sebuah desain (jika tetep kekeh, selain bisa dapet kerjaan lain dan networking) tapi rata–rata akan berakhir di realita yang pertama yaitu frustasi.

Surianto said:
Myth #7: Desainer grafis tidak perlu bisa menggambar. Desainer grafis harus jago menggambar
Desainer grafis perlu bisa menggambar, walaupun tidak perlu bagus sekali. Karena menggambar itu sebetulnya mengatur pemikiran / ide-ide, sebagaimana seorang penulis mengatur kata-kata dalam tulisannya.
Desainer grafis perlu punya kemampuan menggambar untuk mempermudah mewujudkan ide-idenya sendiri, atau untuk menerangkan ide tersebut kepada orang lain untuk diwujudkan secara visual, contohnya seorang art director kepada anak buahnya.
Reality:
Dengan melihat mitos seperti itu dan dengan realita yang ada sepertinya saya tidak akan jadi graphic designer mengingat saya masih harus ngulang mata kuliah menggambar #2, juga menggambar #1 saya dapet D. Namun tenang, jika dah kerja dan nasib seperti saya yang tidak bisa gambar bisa dikasih ke illustrator… bingung karena tidak bisa gambar dengan posenya gimana perspektifnya gimana? Tinggal berpose seperti yang diinginkan, di foto lalu cari referensi visual, kasih ke illustrator. Masalah selesai… menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru (kemungkinan hanya ada pengeluaran baru).

Memang realita lebih kejam dari pada harapan. Realita-realita di atas hanya sebagai gambaran saja gimana serunya kehidupan di dunia kreatif. Pilih cari aman asal nyaman, atau idealis tapi melihat kantong mau nangis? Ya itu semua pilihan. Namun di balik semua itu ada beberapa hal yang pasti: KULIAH ITU MAHAL, SOFTWARE DESIGN ASLI ITU MAHAL, LISTRIK ITU MAHAL, BENSIN MAHAL dan rata-rata teman-teman client tidak pernah memikirkan hal ini. Lucu saja jika kenyataannya dunia kreatif yang nyatanya berhubungan dengan kekayaan intelektual, membuat karyanya dengan media yang secara terpaksa harus tidak menghargai kekayaan intelektual orang lain (baca: software design). Lucu saja jika akhirnya seorang graphic designer yang di kampus selalu di doktrin oleh para dosen-dosennya bahwa seorang graphic designer adalah seorang problem solver, namun di dunia nyata harus bekerja tak beda dengan seorang kuli? Jikalau memang kenyataannya harus seperti itu, lalu buat apa kami para mahasiswa desain grafis harus mengeluarkan duit berpuluh- puluh juta jika pada akhirnya memang hanya untuk mendapatkan gelar sarjana saja dan mendapatkan realita yang seperti ini? Serta berkata bohong kepada orang tua kami yang telah membiayai kami selama 4 tahun kuliah kalau kami adalah seorang problem solver dengan pekerjaan yang sangat menyenangkan seperti mimpi kami ketika awal mula memasuki perkuliahan desain grafis?


Sumber : http://dgi-indonesia.com/realita-desain-grafis/

Unknown

Developer

Thank you for visiting my website ;)

0 komentar:

Posting Komentar